Aroma Harapan di Balik Asap Cilok: Kisah Pak Edi Merajut Mimpi di Tanah Rantau

INDOEKSPRES.COM

Flores, Indo Ekspres – Matahari masih sama-samar di balik gunung Ranaka, Namun, Pak Edi sudah sibuk dengan gerobak ciloknya. Di bawah remang-remang fajar, tangannya cekatan meracik adonan cilok, siap menyambut pagi dengan rasa gurih yang menggoda.

Bagi Pak Edi, mentari pagi bukan hanya penanda waktu. Ia adalah simbol semangat dan harapan baru. Setiap harinya, ia memulai rutinitas dengan penuh antusias, menyapa para pelanggan dengan senyuman hangat dan cilok panas yang lezat. Aroma bumbu kacang dan kecap manis berpadu dengan asap tipis yang mengepul dari gerobak Pak Edi.

Aromanya bagaikan magnet bagi para pecinta kuliner, mengundang mereka untuk mencicipi cilok yang tak lekang oleh waktu. Di antara klakson mobil dan deru motor, aroma sedap cilok Pak Edi selalu menggoda selera. Menyantap cilok Pak Edi bukan hanya soal mengisi perut, tapi juga momen bernostalgia dengan camilan khas Lamongan yang dibawa Pak Edi ke Flores. Ia dibantu oleh istrinya, bu Edi, yang setia mendampinginya sejak awal merintis usaha di Flores. Bersama-sama, mereka meracik adonan cilok dengan penuh kasih sayang, memastikan cita rasa khas Lamongan tetap terjaga.

Sebelum jam 9 pagi, Pak Edi sudah berada di trotoar depan kampus Universitas Katolik St. Paulus Ruteng bersama motor tuanya dan dagangannya. Tak lama, aroma ciloknya mulai menarik perhatian para mahasiswa. Satu per satu mereka datang mengantri untuk mencicipi cilok legendaris Pak Edi. Dengan senyum hangat, Pak Edi menyapa para mahasiswa yang mulai berdatangan.

Ruteng, Flores, bukanlah tanah kelahiran Pak Edi. Namun, sejak 2014, kota kecil berhawa sejuk ini menjadi tempatnya mencari nafkah dan membesarkan mimpi untuk keluarganya. Keputusan merantau ini diambil Pak Edi demi masa depan ketiga putranya. Berbekal pengalaman berjualan cilok di Lamongan, ia memberanikan diri membawa cita rasa khas Lamongan ke Flores.

Tak mudah baginya beradaptasi dengan budaya dan lingkungan baru. Namun, kegigihan dan semangatnya tak pernah padam.

“Dulu ya adaptasi itu susah. Bahasa, makanan, semuanya beda. Tapi saya terus berusaha belajar dan berbaur dengan masyarakat sini,” ungkap Pak Edi sambil sesekali mengaduk cilok yang sedang direbus.

Tak hanya itu, Pak Edi juga harus jeli melihat selera masyarakat setempat. Ia sedikit menyesuaikan bumbu ciloknya agar sesuai dengan lidah orang Flores. “Kalau di Lamongan itu bumbunya lebih pedas. Di sini saya kurangi sedikit pedasnya biar bisa dinikmati semua orang,” jelasnya. (MH)

Share withe your media social

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *