Oleh: Saddam Husen – Pimpinan Redaksi Indo Ekspres
Sengketa hasil Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Kabupaten Empat Lawang kini memasuki babak baru. Mahkamah Konstitusi (MK) telah menerima gugatan yang diajukan oleh pihak yang merasa dirugikan atas penetapan status Tidak Memenuhi Syarat (TMS) terhadap H. Budi Antoni Al Jufri (HBA). Gugatan ini bukan hanya soal perolehan suara, tetapi juga menyangkut tafsir hukum mengenai periodisasi jabatan kepala daerah.
Kini, MK memutuskan untuk melanjutkan sidang dengan agenda khusus membahas perhitungan periodisasi masa jabatan HBA. Langkah ini menimbulkan berbagai pertanyaan, terutama mengenai urgensi pembahasan lebih lanjut dan dampaknya terhadap hasil Pilkada yang telah ditetapkan.
Dasar Hukum yang Menjadi Landasan
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada dengan tegas menyatakan bahwa seorang kepala daerah hanya boleh menjabat selama dua periode, baik secara berturut-turut maupun tidak. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 22/PUU-VII/2009 menegaskan bahwa masa jabatan lebih dari 2 tahun 6 bulan (2,5 tahun) dalam satu periode dihitung sebagai satu periode penuh.
Dalam kasus ini, HBA telah menjabat sebagai Bupati Empat Lawang selama dua periode. Periode pertama berlangsung dari 2008 hingga 2013, sedangkan periode kedua dimulai pada 29 Agustus 2013 hingga diberhentikan sementara pada 3 Mei 2016. Setelah melalui proses hukum, HBA akhirnya diberhentikan tetap, dan Wakil Bupati saat itu yang sebelumnya menjabat sebagai Pelaksana Tugas (Plt) Bupati diangkat menjadi Bupati definitif untuk melanjutkan sisa masa jabatan.
Jika dihitung, masa jabatan HBA pada periode kedua adalah 2 tahun, 8 bulan, dan 7 hari, yang berarti telah melampaui batas 2,5 tahun sebagaimana diatur dalam putusan MK. Dengan demikian, secara hukum, HBA dianggap telah menjabat selama dua periode penuh, yang membuatnya tidak memenuhi syarat untuk kembali mencalonkan diri.
Sidang Lanjutan MK: Langkah yang Sesuai atau Berlarut-larut?
Keputusan MK untuk menggelar sidang lanjutan dengan agenda khusus membahas periodisasi masa jabatan menimbulkan berbagai reaksi. Di satu sisi, langkah ini dianggap sebagai bentuk kehati-hatian dalam mengambil keputusan. Namun, di sisi lain, banyak pihak mempertanyakan mengapa MK tidak langsung memberikan putusan, mengingat aturan hukum yang ada sudah cukup jelas dalam menentukan batasan dua periode kepala daerah.
Sebagai pimpinan redaksi yang berperan dalam memberikan informasi dan analisis kepada publik, saya melihat bahwa ada beberapa hal yang perlu disoroti terkait sidang lanjutan ini:
1. Pentingnya Kepastian Hukum
Langkah MK untuk menggelar sidang lanjutan menunjukkan komitmen dalam memberikan kepastian hukum terkait perhitungan masa jabatan kepala daerah. Keputusan ini penting agar tidak ada celah hukum yang dapat menjadi polemik dikemudian hari.
2. Transparansi Proses Hukum
MK membuka ruang bagi pendalaman isu periodisasi, yang mencerminkan transparansi dalam proses peradilan. Semua pihak yang berkepentingan memiliki kesempatan untuk menyampaikan argumen dan bukti yang relevan sebelum keputusan akhir diambil.
3. Kepentingan Publik dan Demokrasi
Pembahasan mendalam mengenai periodisasi masa jabatan bukan hanya berdampak pada pihak terkait, tetapi juga memiliki implikasi luas terhadap prinsip demokrasi dan regenerasi kepemimpinan di tingkat daerah. Oleh karena itu, penting bagi MK untuk memastikan bahwa setiap keputusan yang diambil sejalan dengan semangat demokrasi dan kepentingan masyarakat.
Konsekuensi Hukum dan Dampaknya
Jika MK tetap berpegang pada aturan hukum yang ada, maka gugatan yang diajukan kemungkinan besar akan ditolak. Hal ini berarti hasil Pilkada yang telah menetapkan kemenangan pasangan calon tunggal akan tetap sah dan pelantikan tetap berjalan sesuai jadwal.
Namun, jika MK memutuskan bahwa ada kekeliruan dalam penetapan TMS oleh KPU Empat Lawang, maka ada beberapa kemungkinan yang bisa terjadi. MK bisa memerintahkan pemungutan suara ulang (PSU) atau bahkan membuka kembali pendaftaran calon. Jika hal ini terjadi, maka pelantikan pasangan calon terpilih kemungkinan besar akan ditunda hingga proses hukum selesai.
Mekanisme Perhitungan Periodisasi Jabatan Sangat Jelas
Aturan tentang periodisasi kepala daerah menjadi perdebatan utama dalam kasus ini. Pasal 7 ayat (2) huruf n UU No. 10 Tahun 2016 membatasi masa jabatan kepala daerah hanya dua periode. Namun, bagaimana cara menghitung satu periode penuh?
Berdasarkan Putusan MK Nomor 22/PUU-VII/2009, periodisasi dihitung sebagai berikut:
1. Jika seorang kepala daerah menjabat lebih dari 2 tahun 6 bulan (2,5 tahun) dalam satu periode, maka periode tersebut dianggap satu periode penuh.
2. Jika seorang kepala daerah menjabat kurang dari 2 tahun 6 bulan, maka periode tersebut tidak dihitung sebagai satu periode penuh.
Perhitungan masa jabatan kepala daerah dihitung sejak tanggal pelantikan hingga pemberhentian tetap atau akhir masa jabatan resmi. Berdasarkan Pasal 162 ayat (1) dan (2) UU No. 10 Tahun 2016, masa jabatan kepala daerah adalah 5 tahun terhitung sejak tanggal pelantikan.
Dalam kasus HBA, periode kedua jabatannya berlangsung dari 29 Agustus 2013 hingga 3 Mei 2016, yaitu selama 2 tahun, 8 bulan, dan 7 hari. Karena masa jabatan ini melebihi 2 tahun 6 bulan, maka dihitung sebagai satu periode penuh.
Dengan demikian, HBA telah menjabat sebagai Bupati Empat Lawang selama dua periode penuh, sehingga tidak memenuhi syarat untuk mencalonkan diri kembali.
“Sehingga saya selaku penulis sangat yakin jika berpedoman kepada undang-undang No. 10 Tahun 2016 dan Berdasarkan Putusan MK Nomor 22/PUU-VII/2009 maka kecil kemungkinan gugatan HBA diterima, serta MK tidak mungkin untuk memutuskan PSU sebagai tindak lanjut perkara tersebut di-Empat Lawang”.
Perhitungan masa jabatan ini menjadi materi pokok untuk memastikan kepatuhan terhadap batasan periodisasi yang ditetapkan oleh undang-undang, guna menjaga prinsip demokrasi dan regenerasi kepemimpinan di tingkat daerah.
Kesimpulan: Menunggu Keputusan MK sebagai Solusi Final
Sebagai lembaga yang memiliki kewenangan dalam menyelesaikan perselisihan hasil pemilu, putusan MK akan menjadi penentu akhir dalam polemik ini. Semua pihak, baik penyelenggara pemilu, peserta pilkada, maupun masyarakat Empat Lawang, harus menghormati dan menerima keputusan yang diambil.
Pilkada seharusnya menjadi ajang demokrasi yang sehat, bukan sekadar pertarungan politik yang berujung pada konflik berkepanjangan. Kini, masyarakat hanya bisa menunggu bagaimana MK akan memberikan keadilan berdasarkan aturan hukum yang berlaku. Apapun putusannya, yang terpenting adalah menjaga stabilitas daerah dan memastikan proses demokrasi berjalan dengan baik demi kepentingan rakyat Empat Lawang.
Indo Ekspres akan terus memantau perkembangan kasus ini dan menyajikan informasi terbaru kepada pembaca.